Di zaman yang serba modern dan permisif ini, manusia justru semakin bersemangat dalam menghalalkan apa yang telah menjadi tata aturan baku dalam norma kehidupan bermasyarakat. Menutup aurat adalah fitrah naluri manusia yang disepakati oleh semua agama. Namun semakin banyak fenomena dimana aurat dipertontonkan, bahkan dikomersialkan wal ‘iyadzubillah. Tulisan berikut ini bertujuan mengembalikan pemahaman kita akan konsep aurat yang benar sesuai cara pandang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menyingkap aurat diantara tipu daya terbesar syaithan,
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu ditipu oleh syaithan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (Adam dan Hawa) dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya” (QS. Al A’raaf : 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, “Allah Ta’ala memperingatkan anak Adam dari iblis dan bala tentaranya, menjelaskan tentang permusuhan mereka sejak zaman bapaknya seluruh manusia, Nabi Adam ‘alaihis salam, dalam upaya mengeluarkan mereka dari surga, yaitu negeri kenikmatan, menuju negeri kelelahan (dunia). Hingga akhirnya tersingkaplah aurat mereka setelah sebelumnya tertutup”
Kita tahu Adam dan Hawa ‘alaihimas salam dikeluarkan dari surga setelah syaithan menghembuskan tipu dayanya hingga tersingkaplah aurat mereka. Maka tidaklah mengherankan apabila di zaman ini syaithan terus menggoda manusia dengan mengajak mereka membuka auratnya. Yang mengherankan adalah betapa banyak manusia tidak pernah belajar dan terus terjerumus dalam tipu daya syaithan. Wal ‘iyadzubillah.
Membuka aurat termasuk perbuatan jahiliyah yang keji, bukan modern
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, ‘Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” (QS. Al A’raaf : 28)
Ibnu Katsir menjelaskan mengenai tafsir ayat ini, “(Yang dimaksud perbuatan keji ialah) dahulu bangsa Arab -kecuali kaum Quraisy- thawaf mengelilingi Ka’bah dalam keadaan tidak berpakaian. Mereka melakukannya (dengan telanjang) karena menyangka berpakaian termasuk maksiat kepada Allah. Adapun kaum Quraisy -yaitu suku Al Hamas- boleh thawaf dengan berpakaian. Orang yang dipinjami pakaian oleh suku Al Hamas baru boleh berthawaf, (atau) orang yang memiliki pakaian baru ia boleh berthawaf kemudian selesai thawaf pakaiannya dibuang dan tidak ada yang mau mengambilnya. Orang yang tidak memiliki pakaian baru dan tidak dipinjami oleh orang Al Hamas, ia melakukan thawaf dengan telanjang (baik laki-laki maupun perempuan)”.
Maka sungguh mengherankan apabila budaya membuka aurat ini diadopsi oleh masyarakat modern di zaman sekarang. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah dalam Mulakhas Al Fiqhiy menjelaskan, “Memperlihatkan dan melihat aurat (bagi yang tidak berhak melihatnya secara syariat –pen) adalah keburukan yang amat mengkhawatirkan. Ia termasuk sarana yang akan mengantarkan pada perbuatan keji dan kerusakan moral. Sebagaimana fenomena ini bisa dilihat terjadi pada tatanan masyarakat yang serba permisif, meremehkan kemuliaan manusia, dan sudah rusak moralnya. Hingga tersebarlah kehinaan dan hilanglah kemuliaan di masyarakat tersebut. Menutup aurat adalah tanda kemuliaan dan akhlaq. Oleh karena itu, syaithan begitu berambisi untuk menghilangkannya dari anak Adam dengan menyingkap auratnya. Hingga Allah memperingatkan manusia melalui firman-Nya (yang artinya),
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya” (QS. Al A’raaf : 27).
Hijab tanda kemerdekaan wanita, bukan perbudakan
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab : 59)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsir Al Ahzab ayat 59 atau dikenal juga dengan ayat hijab, “Dahulu orang-orang fasiq di Madinah keluar pada malam hari ketika kegelapan menaungi jalan-jalan di kota Madinah. Mereka keluar untuk mengganggu kaum wanita. Maka apabila mereka melihat wanita berjilbab mereka berkata, ‘Ini wanita merdeka’ dan mereka menahan diri dari mengganggunya. Bila mereka melihat wanita yang tidak berjilbab mereka berkata, ‘Ini budak’ dan mereka pun mengganggunya”.
Fenomena ini pun masih terjadi di zaman sekarang dimana secara naluri orang-orang yang suka berbuat jahat, cenderung tidak suka mengganggu wanita yang mengenakan jilbab, dan sebaliknya lebih tergoda untuk mengganggu wanita yang tidak berjilbab yang justru menampak-nampakkan auratnya.
Menutup aurat wajib bagi laki-laki dan perempuan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jagalah auratmu kecuali dari istrimu dan budak yang kau miliki” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dan selainnya, dinilai hasan oleh Al Albani). Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari, “Hadits ini dalil bolehnya istri melihat aurat suami dan begitu pula suami boleh melihat aurat istri. Sebaliknya hadits ini dalil tidak bolehnya aurat terlihat oleh mereka yang tidak dikecualikan. Hadits ini juga dalil tidak bolehnya seseorang telanjang meskipun tengah bersendirian, kecuali ketika mandi (menurut pendapat yang rajih,wallahu a’lam –ed)”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang perempuan memandang aurat perempuan lain.” (HR. Muslim)
Batasan aurat
Aurat laki-laki adalah dari pusar hingga lutut. Tidak boleh menampakkan maupun memperlihatkannya pada orang asing. Berdasarkan hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, “Jangan engkau perlihatkan pahamu, dan janganlah engkau lihat paha orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal” (HR. Ibnu Majah)
Sedangkan aurat wanita di hadapan lelaki ialah seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat” (QS. An Nur : 31). Ibnu Katsir rahimahullah membawakan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Yaitu wajah dan kedua telapak tangan”.
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhum, “Sesungguhnya wanita yang telah baligh dan haidh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan dengan wajah dan kedua telapak tangan)”. (HR. Abu Daud secara mursal).
Adapun aurat wanita di hadapan sesama wanita lainnya adalah dari pusar hingga lutut, dengan syarat aman dari fitnah dan tidak disertai dorongan syahwat. Wallahu a’lam.
Syarat hijab wanita muslimah
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam Hijab Al Mar’ah Al Muslimah memberikan batasan yang baik tentang syarat hijab bagi wanita muslimah berikut ini :
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
2. Tidak berfungsi sebagai perhiasan (boleh berwarna dengan syarat tidak sampai menarik perhatian lelaki –ed)
3. Berbahan tebal dan tidak transparan. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan ada umatku di akhir zaman yaitu perempuan yang berpakaian tapi telanjang” (HR. Thabrani, shahih). Ibnu ‘Abdil Barr menjelaskan bahwa yang dimaksud ialah berpakaian tipis hingga tidak menutup sempurna, sehingga secara bahasa ia berpakaian, namun hakikatnya ia telanjang.
4. Longgar dan tidak ketat hingga tidak memperlihatkan lekuk tubuh
5. Tidak beraroma wangi (parfum), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid janganlah ia mendekati wewangian” (HR. Muslim)
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR Abu Daud, Al Hakim menilainya shahih sesuai syarat Muslim)
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
8. Tidak termasuk jenis pakaian syuhrah (nyentrik)
Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan, “Maka wajib bagi setiap muslim menerapkan syarat-syarat tersebut kepada istrinya dan kepada setiap wanita yang berada di bawah pengurusannya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia pimpin”. Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq.
Penulis : Yhouga Ariesta, S.T. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman, BIS
Donasi Masjid Graha Al-Mubarok, Tempat Menyebarkan Dakwah Islam
Panitia Pendirian Graha Al-Mubarok mengajak kaum muslimin untuk berpartisipasi dalam pembangunan Graha Al-Mubarok yang akan menjadi sebuah pusat pengelolaan kegiatan dakwah untuk mahasiswa dan masyarakat wilayah Bantul dan sekitarnya.
Lokasi : Dusun Donotirto, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rekening donasi :
Bank Syariah Mandiri
710-206-3737
a.n. Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Demikian informasi dari kami, semoga bermanfaat.
Pusat Informasi
Website : www.al-mubarok.com
Fanspage FB : Kajian Islam al-Mubarok
e-mail : forsimstudi@gmail.com